Fenomena PUBER di kota metropolitan membuktikan, bahwa paguyuban merupakan kebutuhan sosial dasariah manusia kota-kota besar akan persaudaraan/persahabatan tulus yang bebas dari kepentingan politik dan ekonomi. Ia akan selalu tumbuh di kota besar maupun kota kecil, entahkah sifatnya semu atau sejati, berkelanjutan ataukah temporer. Karena itu PUBER pertama-tama perlu dipahami sebagai orang-orang yang terpanggil untuk hidup dalam persaudaraan/persahabatan sejati dan mengarahkan dirinya kepada sesama serta lingkungannya, baik gerakan ke dalam maupun ke luar. Terlepas dari sifatnya yang permanen atau temporer serta siapa pemrakarsa, PUBER diharapkan menjadi semacam “examplary community” (komunitas percontohan) di tengah-tengah hidup bersama di kota besar yang dipacu oleh kompetisi, keunggulan, identitas kelompok berbasis ekonomi, individualisme dan konsumtivisme.
Budaya warga kota Jakarta perlu dicermati untuk memahami pola-pola hidup bersama dan hubungan-hubungan sosial yang muncul termasuk hubungan dengan Sang Ilahi. Menurut pengamatan penulis, posisi dan peran kota Jakarta sebagai barometer ekonomi dan pembangunan bagi kota-kota besar lainnya di tanah air serta orientasi pengelolaan ruang kota berbasis ekonomi dan aspek fisik, telah menciptakan segregasi sosial berbasis kelas ekonomi dan kesenjangan sosial. Model pemukiman berlabel “kota mandiri” lengkap dengan fasilitas mal, plasa, tempat hiburan, rumah sakit, semakin mempertajam kesenjangan sosial dan kelas-kelas sosial ekonomi. Atribut-atribut kelas tumbuh sebagai penanda identitas sosial mereka yang ekonominya berkelimpahan. Pola hidup bersama warga kota Jakarta direkayasa menjadi perjumpaan tergegas dan semu; dipersatukan dan diwarnai oleh nilai-nilai keunggulan, kompetisi, individualisme dan konsumtivisme, melalui pertemuan di mal, plasa, resto, tempat rekreasi atau panggung hiburan. Terkait ini, agama pun tak luput dari budaya rekayasa komersial; dikemas dalam format ritual yang sensasional, rekreasional sekaligus eskapisme dengan mengandalkan para pesohor. Pluralitas sosial kota metropolitan justru dikotak-kotakkan melalui pengelolaan ruang-ruang kota berbasis kelas sosial ekonomi dan pemanfaatan ruang publik (media massa, media luar ruang, mal dan plasa) yang berorientasi kepada kepentingan bisnis dan politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar